Arab Pra Islam


Geografi Simenanjung Arabia

Bangsa Arab bertempat tinggal dan mendiami semenanjung terbesar di dunia, yaitu Semenanjung Arabia (Shibhul Jazirah). Terletak di Asia Barat Daya, luasnya 1.027.000 mil persegi, sebagian besar ditutupi padang pasir dan merupakan salah satu tempat terpanas di dunia. Tidak terdapat sungai yang dapat dilayari atau airnya yang terus menerus mengalir ke laut, yang ada hanya lembah-lembah yang digenangi air di waktu musim hujan.

Simenanjung Arabia terdiri atas dua bagian. Pertama, daerah pedalaman, merupakan daerah padang pasir yang kering karena kurang dituruni hujan dan sedikit penduduk karena daerahnya tandus. Kedua, daerah pantai di pinggir laut, di bagian tengah dan selatan, hujan turun teratur sehingga subur ditanami, yaitu daerah Hijaz, Yaman, Hadramaut, Oman dan Bahrain. Di antara daerah itu Yaman yang paling subur, sehingga disebut negeri barkah (Ahmad Syalabi, 1997: 30-36).

Berdasarkan letak geografis bangsa Arab ini, mereka yang tinggal di daerah pedalaman disebut penduduk pengembara (ahl al-badwi). Mereka ini mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan membawa segala miliknya, berhenti bila menemukan air dan padang rumput untuk ditinggalkan lagi bila sumber kehidupan mereka habis. Pekerjaan utama mereka, memelihara ternak unta, domba dan kuda serta berburu dan tidak tertarik pada perdagangan, pertanian dan kerajinan.

Adapun mereka yang tinggal di daerah pantai disebut penduduk penetap (ahl al-hadhar). Mereka sudah tahu pertanian, seperti cara mengolah tanah bercocok tanam dan kerajinan. Mereka juga berdagang, bahkan dengan orang luar negeri. Oleh sebab itu, mereka lebih berbudaya dari Arab badwi (Yusuf Rahman, 1987: 1-2).


Asal Usul Bangsa Arab

Bangsa Arab berasal dari ras Samiyah dan terbagi kepada dua suku. Pertama, suku Arab al-Baidah , yaitu bangsa Arab yang sudah punah seperti kaum ‘Ad dan Tsamud. Kedua, suku Arab al-Baqiyah, yaitu bangsa Arab yang masih hidup sampai sekarang, terdiri dari keturunan Qahthan dan Adnan.

Allah mengutus Nabi Hud kepada kaum ‘Ad tetapi mereka mendustakan-Nya maka Allah menyiksa mereka dengan meniupkan angin selama tujuh malam delapan hari secara terus menerus (Q.S. al-Haqqah (69):7). Mereka mati bergelimpangan karena kedinginan kelaparan dan ditimpa berbagai penyakit sehingga mereka punah dan tidak ada yang tersisa (Hamka, 2004: 81).

Adapun kaum Tsamud diutus Allah kepada mereka Nabi Saleh dengan membawa mu’jizat seekor unta dengan janji bahwa minuman mereka dan minuman untuk unta dibagi brgiliran hari, tetapi mereka menyembelih unta dan memakan dagingnya, maka kemurkaan Allah datang kepada mereka dengan menimpakan sakit semacam penyakit kolera selama tiga hari lamanya. Hari pertama muka mereka pucat kuning, hari kedua berubah menjadi merah padam dan hari ketiga jadi hitam serta malamnya mereka mati bergelimpangan.

Negeri asli keturunan Qahthan adalah Arabia Selatan, di antara mereka ada yang muncul menjadi Raja, seperti Raja Yaman, Raja Saba’ dan Raja Himyar. Tetapi semenjak bendungan Saba’ rusak, di antara mereka ada yang mengembara ke utara dan malahan dapat membentuk kerajaan-kerajaan, seperti Hirah dan Ghasasinah. Termasuk suku Aus dan Khazraj yang mendiami Madinah juga berasal dari suku Qahthan ini.

Adapun keturunan Adnan, mereka disebut juga Arab Musta’ribah artinya percampuran antara darah Arab asli yang mendiami Makkah dengan darah pendatang, yaitu Nabi Isma’il AS. Salah satu anaknya adalah Adnan yang menurunkan keturunan Quraisy, kemudian keturunan Abd al-Muthalib, kakek Nabi Muhammad s.a.w. yang lebih dikenal dengan keturunan bani Hasyim. Itulah sebabnya silsilah Nabi Muhammad s.a.w. dapat ditelusuri sampai ke atas terus kepada Nabi Isma’il AS (Hasan Ibrahim Hasan, 2006: 13-21).


Karakteristik / Watak Bangsa Arab

Jazirah Arab yang gersang dan tandus memberi pengaruh terhadap bentuk fisik dan karakter mereka. Pada bentuk fisik mereka bertubuh kekar, kuat dan mempunyai daya tahan tubuh yang tangguh, sedangkan dalam karakter memberi watak khusus, baik yang positif atau baik maupun yang negatif atau buruk.
Watak Positif
Adapun watak positif. Pertama, adalah kedermawanan karena di kalangan masyarakat kedermawanan adalah bukti kemuliaan. Semakin dermawan seseorang maka dia akan semakin dihargai dan dikagumi. Jadi, kedermawanan itu adalah lambang kemuliaan bukan karena kedermawanan. Dengan demikian, motif kedermawanan itu bukanlah kebaikan hati, tetapi didasari oleh keinginan untuk dihormati dan dimuliakan untuk popularitas dan terkenal.

Kedua, keberanian dan kepahlawanan menjadi syarat yang mutlak diperlukan agar dapat mempertahankan hidup di padang pasir yang tandus dan gersang itu. Oleh karena itu tidak mengherankan jika nilai keberanian mendapat nilai yang paling tinggi dan unsur yang paling esensi dalam masyarakat Jahiliyah untuk mempertahankan kehormatan suku. Sebab suku yang penakut akan menjadi mangsa bagi suku yang pemberani (Nourouzzaman Shiddiqi, 1981: 132-139).
Watak Negatif
Sedangkan watak negatif. Pertama, gemar berperang, hidup di Jazirah Arab yang gersang dan tandus memerlukan tambahan sumber menunjang kehidupan. Disamping itu, binatang ternak pun memerlukan ladang-ladang gembalaan. Untuk memenuhi keperluan tersebut mesti harus menyeberang ke perkampungan orang lain. Namun karena desa lain pun mengalami problem yang sama. Maka jalan satu-satunya adalah perang. Siapa yang kuat dialah yang berhak untuk hidup. Oleh karena itu dalam pandangan orang Arab, perang adalah untuk mempertahankan hidup.

Kedua, angkuh dan sombong, darah di kalangan masyarakat Arab mempunyai harga yang sangat tinggi. Setiap darah yang tertumpah dari salah satu anggota sukunya menjadi kewajiban bagi seluruh anggota suku untuk menuntut balas dengan tanpa memperhitungkan apa yang menjadi penyebabnya. Hal ini akibat dari sifat angkuh dan sombong, karena merasa paling hebat.

Ketiga, pemabuk dan penjudi, di kalangan masyarakat Arab yang kaya, minuman keras dianggap sebagai barang mewah. Bahkan melalui minuman keras mereka mampu memamerkan kekayaannya. Sedangkan bagi kalangan ekonomi lemah mabuk-mabukan merupakan tempat pelarian untuk melupakan himpitan hidup yang berat.


Agama dan Kepercayaan Arab Pra Islam

Mayoritas penduduk Jazirah Arab di masa Jahiliyah menyembah berhala, sedangkan minoritas di antara mereka ada orang Yahudi di Yatsrib, orang Kristen Najran di Arabia Selatan dan sedikit yang beragama Hanif di Makkah.

Agama berhala dibawa pertama kali dari Syam ke Makkah oleh ‘Amru bin Luhay, dan diterima sebagai agama baru oleh Bani Khuza’ah, satu keturunan dengan ‘Amru, di saat itu pemegang kendali Ka’bah. Kemudian agama berhala ini berkembang pesat sehingga menjadi agama mayoritas penduduk kota Makkah (Hasan Ibrahim Hasan, 2006: 123).

Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Jenis dan bentuk berhala bermacam-macam, tergantung pada persepsi mereka tentang tuhannya. Berhala-berhala tersebut dipusatkan mereka di Ka’bah. Orang Quraisy sebagai penguasa terakhir untuk Ka’bah memiliki beberapa berhala, yang terbesar di antaranya adalah Hubal. Tercatat, bahwa Hubal adalah patung yang paling diagungkan. Terbuat dari batu aqiq berwarna merah dan berbentuk manusia.

Tiga berhala terkenal yang lainnya adalah al-Lãta terletak di Thaif, al-‘Uzza bertempat Nakhlah sebelah timur Makkah, kedudukannya terbesar kedua di bawah Hubal, dan al-Manãta bertempat di Yatsrib, lebih popular di kalangan suku Aus dan Khazraj. Ketiga berhala ini disebut namanya dalam al-Qur’an surah al-Najm: 19-23. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan nasib buruk.

Dengan demikian, Ka’bah yang dibangun Nabi Ibrahim dan anaknya Isma’il menjadi berubah fungsi, dulu sebagai tempat beribadah bagi agama hanif, kini orang Arab dari berbagai penjuru setiap tahun datang berkunjung ke Makkah, seperti yang diajarkan Nabi Ibrahim, tetapi untuk menyembah berhala yang mereka tempatkan di situ.

Agama Yahudi dibawa masuk ke semenanjung Arabia oleh orang Israel dari Palestina. Mereka menetap di Yaman, Khaibar dan Yatsrib. Karena pengaruh merekalah orang-orang Arab, suku Aus dan Khazraj bergegas masuk Islam menyongsong Nabi ke Makkah. Sebab antara mereka selalu terjadi percekcokan dan perselisihan.

Agama Kristen dianut suku-suku yang terdapat di sebelah utara Jazirah Arab yang dikembangkan pendeta-pendeta kerajaan Bizantium. Di Yaman, sebelah selatan Jazirah Arab terutama Najran terdapat penduduk Arab beragama Kristen. Agama Kristen di sebelah selatan ini datang dari kerajaan Habsyi (Ethiopia).

Sementara itu, terdapat perorangan yang meninggalkan penyembahan berhala serta kebiasaan jahiliyah lainnya, serta percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa serta hari berbangkit. Di antaranya Waraqah ibn Nanfal, seorang tua yang hafal Injil, yang percaya bahwa Muhammad adalah Nabi yang disebut dalam kitab suci itu.

Di kalangan orang Badwi, mereka menyembah pohon, bulan dan bintang, sebab menurut mereka kehidupan mereka diatur oleh bulan dan bintang bukan matahari, bahkan matahari menurut mereka merusak tanaman dan ternak mereka (Yusuf Rahman, 1987: 5).


Politik dan Pemerintahan Arab Pra Islam

Terdapat dua Negara adi kuasa di masa Jahiliyah, yaitu kerajaan Bizantium Romawi di barat dan kerajaan Persia di timur. Selama zaman Jahiliyah, seluruh Simenanjung Arabia, menikmati kemerdekaan penuh, kecuali daerah utara (Palestina, Libanon, Yordania dan Syam) berada di bawah kekuasaan Bizantium dan Irak berada di bawah kekuasaan Persia. Mungkin karena kegersangannya, dua negara adi kuasa Bizantium dan Persia tidak tertarik menjajah Arab, kecuali daerah utara yang tunduk di bawah kekuasaan mereka.

Di kalangan orang Arab Badwi tidak ada pemerintahan. Kesatuan politik mereka bukanlah bangsa, tetapi suku yang dipimpin kepala suku yang disebut Syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Bagi masing-masing suku terdapat seorang pemimpin (Syaikh). Dalam memilih pemimpin kriteria yang dipakai adalah pemberani, pemurah, cerdas, arief dan bijaksana.

Karena tidak adanya pemerintahan pusat hubungan antar suku selalu dalam konflik. Peperangan antara suku sering terjadi. Hal-hal yang sepele bisa menimbulkan peperangan. Misalnya terkenal peperangan yang terjadi antara Bani Bakr dan Bani Taghlib yang berlangsung selama 40 tahun, disebut perang Basus. Terjadi hanya karena Unta milik anggota salah satu suku dilukai oleh anggota suku lainnya.

Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan yang terjadi terus-menerus. Meskipun masyarakat Badwi mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada Syaikh itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Di luar itu, Syaikh tidak berkuasa mengatur anggota kabilahnya.

Akibat peperangan terus-menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang, kerana itu bahan-bahan sejarah Arab pra Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab. Sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam (Ahmad Syalabi, 1983: 29).

Meskipun begitu hampir seluruh penduduk Arab adalah penyair. Maka tidak mengherankan bila seni sastra, terutama puisi sangat berkembang. Para penyair memiliki kedudukan terhormat di kalangan sukunya. Melalui puisi-puisi merekalah, sejarah bangsa Arab sebelum Islam dapat ditelusuri. Karena para penyair itu selain pemberi nasehat dan juru bicara suku, dia juga ahli sejarah dan intelektual sukunya (K.Ali A., 1980: 19).

Tetapi di kalangan bangsa Arab penetap sudah ada pemerintahan. Pusat pemerintahan mereka adalah kota Makkah. Sudah banyak suku-suku yang pernah memerintah di Makkah. Mereka itu adalah suku Amaliqah, suku Bani Jurhum, Suku Bani Khuza’ah dan suku Quraisy.

Suku Amaliqah berkuasa di Makkah sebelum Nabi Isma’il datang ke situ. Mereka dikalahkan dan diusir oleh suku Jurhum dari Makkah. Ketika suku Jurhum berkuasa Nabi Isma’il datang ke Makkah. Pernikahan Nabi Isma’il dengan salah satu anak gadis suku Jurhum menurunkan keturunan Adnan. Urusan pemerintahan kemudian dibagi dua. Masalah-masalah politik dan perang dipegang orang-orang Jurhum, sedangkan masalah keagamaan dan kepengurusan Ka’bah diserahkan kepada Nabi Isma’il (Ahmad Syalabi, 1997: 48).

Pada saat banu Jurhum berkuasa di Makkah, banu Khuza’ah datang ke Makkah dari Saba’ Arabia selatan. Ketika banu Jurhum tenggelan dalam kenikmatan hidup dimanfaatkan suku Khuza’ah untuk merebut kekuasaan dari tangan banu Jurhum. Terpaksa banu Jurhum meninggalkan Makkah bersama-sama dengan anak-anak Nabi Isma’il. Kini kekuasaan berpindah dari tangan banu Jurhum ke tangan banu Khuza’ah, terjadi kira-kira tahun 207 SM.

Sebelum banu Jurhum meninggalkan Makkah terlebih dahulu mereka memasukkan pusaka-pusaka kraton ke dalam sumur zam-zam dan ditimbun dengan tanah dan kelak sumur zam-zam ini baru dapat digali kembali dikemudian hari pada masa pemerintahan Abdul Muththalib (kakek Nabi Muhammad s.a.w).

Kekuasaan politik kemudian dapat direbut dan berpindah kembali ke suku Jurhum keturunan Adnan di bawah pimpinan Qushai. Sejak Qushai memegang tampuk pemerintahan beliau menata kembali kehidupan di Makkah baik dalam bangunan fisik maupun mengatur kehidupan masyarakat, termasuk bangunan Ka’bah yang sudah tua diperbaharuinya dan di samping Ka’bah dibangun “Darun Nadwah” untuk empat permusyawaratan dan penyelenggaraan pemerintahan.

Suku keturunan Adnan inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Ka’bah. Semenjak itu, suku Quraisy menjadi suku yang mendominasi kehidupan masyarakat Arab. Ada sepuluh jabatan tinggi yang dibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah asal suku Quraisy ini. Di antaranya adalah (1) Hijabah, penjaga kunci-kunci ka’bah, (2) Siqayah, pengawas mata air zam-zam untuk dipergunakan oleh para penziarah, (3) Diyat, kekuasaan hakim sipil dan kriminal, (4) Sifarah, pengurus pajak untuk orang miskin, (5) Nadwah, jabatan ketua dewan, (6) Khaimunah, pengurus balai musyawarah, (7) Khazinah, jabatan adminstrasi keuangan, dan (8) Azlam, penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa. Dalam pada itu sudah menjadi kebiasaan bahwa anggota yang tertua mempunyai pengaruh paling besar dan memakai gelar Rais (Syed Amir Ali, 1978: 97-99).

Suku Quraisy berkuasa di Makkah sampai datang agama Islam. Urusan pemerintahan dipegang anak Qushai berganti-ganti. Qushai digantikan anaknya Abdi Manaf bin Qushai. Tetapi Abdi Manaf tidak secakap ayahnya. Hasyim bin Abdi Manaf menggantikan ayahnya memerintah di Makkah. Dia adalah seorang negarawan yang cakap. Dia melakukan usaha-usaha memperkembangkan ekonomi dalam pemerintahan Quraisy di Makkah.

Beliau wafat tahun 510 M. dan digantikan oleh saudaranya Al-Muththalib. Al-Muththalib berusaha mencari anak Hasyim yang tinggal di Yatsrib untuk dipersiapkan menduduki jabatan kepala pemerintahan Quraisy di Makkah.

Al-Muththalib wafat ada tahun 520 M. dan kedudukannya digantikan oleh Abdul Muththalib bin Hasyim, namun tidak disetujui oleh Naufal saudara al-Muththalib. Abdul Muththalib terpaksa mencari bantuan ke Yatsrib sebanyak 80 orang pemuda untuk mendukung pemerintahannya. Penolakan Naufal itu, mendorong Abdul Muththalib ingin mempunyai anak laki-laki yang banyak yang dapat memberi bantuan kepadanya, kapan diperlukan di setiap waktu dan tempat. Oleh karena itu beliau bernazar, jika memperoleh anak laki-laki sepuluh orang maka seorang di antaranya akan disembelih sebagai korban (Hasan Ibrahim Hasan, 2006: 124-125).

Tetapi dalam kisah lain disebutkan bahwa yang mendorong Abdul Muththalib berkeinginan mempunyai banyak anak karena beliau bertugas menyediakan air untuk jama’ah-jama’ah haji yang datang ke Makkah. Air itu diambil dari sumur-sumur yang jauh letaknya dari Makkah, lalu disimpan dalam bak-bak untuk diminum oleh jama’ah haji. Pekerjaan ini adalah pekerjaan berat yang memerlukan banyak pembantu.

Selain itu, ada keinginan Abdul Muththalib hendak menggali sumur zamzam kembali, tetapi tidak memdapat sambutan yang baik dari orang Quraisy. Saat itu dia bernazar sekiranya dia dianugerahi tuhan sepuluh orang anak laki-laki, yang dapat membantunya dalam pekerjaaannya, seorang di antaranya akan disembelihnya di dekat Ka’bah sebagai korban kepada dewa-dewa orang Quraisy (Ahmad Syalabi, 1997: 76).

Beliau ternyata memperoleh sepuluh orang anak laki-laki. Oleh karena itu dia bermaksud melaksanakan janjinya. Ketika nazar itu hendak dilaksanakan, dia mempersiapkan pisau yang tajam hendak menyembelih salah satu dari anak-anaknya. Undian penyembelihan ternyata jatuh kepada anaknya yang bernama Abdullah, anak kesayangannya, yang kelak menjadi ayah Rasulullah. Bahkan sempat diulang tiga kali, namun tetap jatuh kepada Abdullah.

Ketika pelaksanaan penyembeluhan hendak dilakukan, para pemuka masyarakat Makkah mencegahnya, sebab khawatir perbuatan Abdul Muthtalib itu akan ditiru orang lain, sehingga menyembelih manusia sebagai korban menjadi adat tradisi kelak di belakang hari. Penolakan pemuka-pemuka Quraisy itu diterima oleh Abdul Muththalib dengan senang hati.

Kemudian Abdul Muththalib pergi menemuai tukang tenun untuk meminta nasehat. Tukang tenun itu menasehatinya agar undian diulang lagi. Tetapi yang akan diundi antara Abdullah dan 10 ekor unta. Andaikata undian jatuh pada 10 ekor unta tersebut, maka unta itu disembelih, akan tetapi bila undian jatuh pada diri Abdullah, jumlah unta harus ditambah 10 lagi, demikinlah seterusnya sampai unta berjumlah 100 ekor baru undian jatuh kepada unta, maka nazar menyembelih Abdullah diganti dengan menyembelih 100 ekor unta, dan dagingnya dibagi-bagikan untuk dimakan manusia, hewan dan burung (Ahmad Syalabi, 1997: 76; Hasan Ibrahim Hasan, 2006: 126).

Pada masa pemerintahan Abdul Muththalib ini ada dua peristiwa penting yang terjadi. Pertama, air zam-zam yang dulu sudah ditimbun oleh bani Jurhum waktu meninggalkan Makkah, dia gali kembali. Letaknya ditemukan berdasarkan petunjuk mimpi Abdul Muththalib berada di antara dua berhala yang paling dihormati orang-orang Makkah yaitu berhala Al-Iraf dan Al-Ilah, oleh sebab itu, orang Quraisy tidak berani melakukan penggalian, terpaksa Abdul Muththalib dan dibantu oleh anaknya Harits melakukan penggalian sampai mata air sumur zam-zam itu terbuka kembali.

Kedua, gubernur Habasyah, bernama Abrahah beragama Kristen dari Yaman datang ke Makkah hendak memindahkan Ka’bah ke Yaman atau menghancurkannya. Dia datang dengan pasukannya mengenderai gajah, sehingga tahun ini disebut tahun gajah. Namun penyerangan Abrahah ini gagal karena tentara bergajah itu dihancurkan oleh burung Ababil, pada tahun inilah Nabi Muhammad dilahirkan.


Keadaan Ekonomi Arab Pra Islam

Pada masa pemerintahan kerajaan Saba’ dan Himyar di Jazirah Arab selatan, kegiatan perdagangan orang Arab meliputi laut dan darat. Kegiatan perdagangan di laut mereka pergi ke India, Tiongkok dan Sumatera dan kegiatan perdagangan di darat ialah di Jazirah Arab (Ahmad Syalabi, 1997: 52).

Akan tetapi setelah Yaman dijajah oleh bangsa Habsyi dan bangsa Persia, maka kaum penjajah itu menguasai kegiatan perdagangan di laut, sedangkan perdagangan di darat berpindah ke tangan orang Makkah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Makkah berkembang menjadi kota perdagangan. Pertama, orang Yaman banyak yang berpindah ke Yaman, sedang mereka telah berpengalaman dalam perdagangan. Kedua, di kota Makkah dibangun Ka’bah setiap tahun jama’ah-jama’ah berdatangan ke Makkah melakukan haji yang membuat Makkah semakin masyhur. Ketiga, letak Kota Makkah berada di tengah-tengah tanah Arab antara utara dengan selatan. Keempat, daerahnya yang gersang membuat penduduknya suka merantau untuk berdagang (Ahmad Syalabi, 1997: 53).

Ada empat putera Abd al-Manaf yang selalu mengadakan perjalanan dagang ke empat tempat terpenting, yaitu Hasyim mengadakan perjalanan ke negeri Syam, Abd Syam ke Habsyi, Abd al-Muththalib ke Yaman dan Naufal ke Persia. Perdagangan-perdagangan orang Quraisy yang pergi ke negeri-negeri tersebut mendapat perlindungan dari keempat putera Abd al-Manaf itu, karena itu tidak ada seorangpun yang berani mengganggu mereka (Ahmad Syalabi, 1997: 54-55).

Dengan demikian, terdapat empat tempat perdagangan orang Quraisy, yaitu ke utara dan selatan, mereka pergi ke Syam dan Yaman, kemudian ke barat dan timur, mereka pergi ke Habsyi dan Persia. Sedangkan pusat perdagangan mereka berada di Makkah.

Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai adalah seorang negarawan yang cakap, dia melakukan usaha-usaha memperkembangkan pemerintahan Quraisy. Mengadakan persetujuan-persetujuan dagang dengan Negara-negara tetangga, seperti Ghassani dan Bizantium, juga membuka jalur perdagangan baru dan membentuk dua qabilah dagang yang dikirim, masing-masing ke Yaman pada musim dingin dan ke Syria pada musim panas (Q.S. al-Quraisy).

Dalam pemerintahan Hasyim ini kota Makkah benar-benar berperan sebagai pusat transito dagang yang sangat maju. Selain Hasyim, Abbas, Abu Lahab, Abu Sofyan, Abu Thalib dikenal juga sebagai pedagang dari kalangan orang Quraisy.

Di Yaman, pada musim dingin kafilah dagang bangsa Arab membawa minyak wangi, kemenyan, kain sutera, kulit, senjata, rempah-rempah, cengkeh, palawija dan lain-lain. Di antara barang-barang tersebut ada yang dihasilkan di Yaman, ada pula yang di datangkan dari Indonesia, India dan Tiongkok (Ahmad Syalabi, 1997: 53).

Di Syria atau Syam, kafilah-kafilah dagang tersebut di atas membawa barang-barang dagangan mereka ke Syam. Di waktu kembali, kafilah-kafilah itu membawa gandum, minyak zaitun, beras, jagung dan tekstil dari Syam. Abu Thalib, paman Nabi juga pernah membawa Muhammad berdagang ke Syam. Selain itu, Muhammad juga membawa barang dagangan Khadijah ke Syam yang ditemani oleh hamba sahayanya, Maisyarah.

Adapun barang-barang perdagangan terpenting dalam jalur perdagangan timur barat, kafilah-kafilah dagang Arab membawa rempah-rempah dari Habsyi untuk diperdagangkan di Persia, juga mereka berdagang mutiara di Persia yang dikeluarkan dari Selat Persia.


Sosial Budaya Arab Pra Islam

Kaum wanita memiliki posisi yang paling jelek dibanding wanita lain di dunia ketika itu. Mereka dianggap sebagai benda mati yang tidak mempunyai hak apapun, termasuk hak untuk dihormati. Seseorang bisa mengawini wanita berapa pun dia suka, dan dapat menceraikannya kapan saja dia mau. Bila seorang ayah diberi tahu bahwa anaknya yang lahir seorang wanita, dia sedih bercampur marah. Kadang-kadang bayi wanita itu dikubur hidup-hidup. Kehidupan yang keras dan menantang mendorong mereka untuk memiliki anak laki-laki saja. Walaupun begitu, tidak semua perempuan mereka bunuh.

Lembaga perkawinan tidak teratur. Wanita boleh menikah lebih dari seorang suami (poliandri). Sedang wanita bersuami memperbolehkan suaminya berhubungan dengan wanita lain untuk memperoleh keturunan. Ibu tiri kadang-kadang dikawini anak tirinya. Saudara laki-laki terkadang mengawini saudari perempuannya. Gadis-gadis nakal terbiasa pergi ke daerah-daerah pinggiran untuk bersenang-senang dengan laki-laki lain. Wanita tidak memiliki hak waris baik dari suaminya, ayah maupun keluarganya.

Memiliki hamba sahaya menjadi salah satu ciri masyarakat Arab. Mereka memperlakukan hamba sahaya secara tidak manusiawi. Karena mereka memiliki hak penuh atas hidup matinya, fisik maupun mentalnya. Kehidupan jahiliyah sesungguhnya manifestasi dari kehidupan barbarisme, karena ketimpangan sosial, penganiayaan, meminum minuman keras, perjudian, pelacuran dan pembunuhan merupakan pemandangan yang biasa dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari.

Dalam bidang budaya, bangsa Arab terkenal dengan kefasihan lidahnya. Ciri khas manusia ideal bangsa Arab, adalah “kefasihan lidah, pengetahuan tentang senjata dan kemahiran menunggang kuda”. Maka tidak mengherankan bila seni sastra, terutama puisi sangat berkembang pesat di kala itu.
Para penyair memiliki kedudukan terhormat di kalangan sukunya. Batapa besarnya peranan yang diemban para penyair, sejarah bangsa Arab dapat diketahui melalui puisi-puisi mereka. Oleh karena itu, para penyair selain pemberi nasehat dan juru bicara sukunya, mereka juga adalah ahli sejarah dan intelektual sukunya.

Syair adalah salah satu seni yang paling indah dan sangat dimuliakan serta dihargai oleh bangsa Arab. Mereka senang berkumpul mengelilingi para penyair untuk mendengarkan syair-syair mereka. Sehingga ada beberapa pasar tempat berkumpul para penyair, yaitu pasar ‘Ukaz, pasar Majinnah, dan pasar Zul Majaz (Ahmad Syalabi, 1997: 57).

Di pasar-pasar itu para penyair memperdengarkan syairnya dengan dikelilingi oleh warga sukunya dan bahkan mereka memperlombakan syair-syair kemudian dipilih di antara syair-syair itu yang terbagus untuk digantungkan di Ka’bah dekat dengan patung pujaan mereka.

Bil ada dalam satu kafilah muncul seorang penyair, maka berdatanganlah kafikah-kafilah lainnya mengucapkan selamat kepada kafilah tersebut. Kafilah itu mengadakan jamuan makan dengan menyembelih binatang-binatang dan dalam pesta itu wanita-wanita keluar bermain musik dan bernyanyi.