Analisis Historis dan Demografis Arab Pra Islam

Demografis Arab - Jazirah Arab terletak di bagian barat daya Benua Asia. Daratan ini dikelilingi oleh laut dari tiga sisinya, yaitu Laut Merah, Lautan Hindia, Laut Arab, Teluk Oman dan Teluk Persia. Meskipun tanah Arab ini lebih tepat disebut semenanjung, namun Bangsa Arab menyebutnya jazirah atau pulau. Boleh jadi sebutan ini diambil dari kata shibh al-jazirah yang artinya semenanjung. (Abdul Jabbar Adlan, 1995: 9)

Bangsa Arab sebelum Islam tidak hanya mendiami Jazirah Arab, namun telah menyebar di daerah-daerah di sekitar Jazirah. Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah (pedalaman) dan bagian pesisir. di sana tidak ada sungai yang menagalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah (wadi) yang berair di musim hujan. (Badri Yatim, 1997: 9) Lembah-lembah ini sangat bermanfaat sebagai jalan bagi kafilah dan orang-orang yang menunaikan ibadah haji. (Philip K. Hitti, 1970: 16)

Analisis Historis dan Demografis Arab Pra Islam

Penduduk Sahara (ahl al-badw) terdiri dari suku-suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan yang nomadik, berpindah dari satu daerah ke daerah lain guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka. Sedangkan daerah pesisir, penduduknya sangat kecil bila dibandingkan dengan penduduk Sahara. Penduduk Pesisir (ahl al-hadlar) sudah hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga. Karena itu, mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan, (Badri Yatim, 1997: 10) antara lain Ahsa (Bahrain), Oman, Mahrab, Hadramaut, Yaman dan Hijaz. Dan menjelang kelahiran Islam, bangsa Arab keturunan Yaman berhasil mendirikan kerajaan Hirrah (Manadzirah) dan Ghassasinah di ujung Jazirah Arab bagian utara. (Abdul Jabbar Adlan, 1995: 12)

Secara umum, iklim di Jazirah Arab sangat panas, bahkan jazirah ini termasuk salah satu daerah yang paling panas dan paling kering di bumi. Ahli geografi memperkirakan, bahwa daratan Arab dahulu (sebelum terputus oleh lembah Sungai Nil dan laut Merah) merupakan sambungan padang pasir yang terbentang luas dari Sahara di Afrika sampai padang pasir Gobi di Asia. dua buah laut yang kini membatasi Jazirah Arab di tepi barat dan di tepi timur, terlampau kecil untuk mengimbangi udara padang npasir yang terlalu panas dan kering, sementara uap air yang dikirim dari samudera menjangkau daerah pedalaman. tidak mengherankan apabila angina timur yang sejuk dan segar menjadi dambaan dan sering kali menjelma dalam syair-syair para penyair Arab. (Philip K. Hitti, 1970: 13-14)

Para ahli sejarah Arab membagi bangsa Arab atas dua kelompok besar, yaitu Arab Baidah dan Arab Baqiah. Arab Baidah merupakan bangsa Arab yang sudah lama punah jauh sebelum Islam lahir. Cerita-cerita tentang Arab Baidah hanya termaktub di dalam kitab-kitab suci agama Samawi dan yang diungkapkan oleh syair-syair Arab, semisal kaum Ad dan Tsamud. (Abdul Jabbar Adlan, 1995: 12)

Sedangkan Arab Baqiah terdiri dari dua bagian besar, yaitu Arab Aribah dan Arab Musta’ribah. Arab Aribah disebut pula Qahthaniyah dinisbatkan kepada Qahthan, nenek moyang mereka, atau Yamaniyah dinisbatkan kepada negeri Yaman tempat asal persebaran mereka. Arab Aribah ini bercabang menjadi beberapa kabilah, yang terkenal di antaranya adalah kabilah Jurhum dan Ya’rib. (Ahmad Hasan al-Zayyat, t.t: 7) Sedangkan Arab Musta’ribah merupakan keturunan Ismail ibn Ibrahim. karena itu, mereka disebut Ismailiyah atau Adnaniyah dinisbatkan kepada salah seorang keturunan Ismail yang bernama Adnan. Mereka disebut Musta’ribah, karena Ismail sendiri bukan keturunan Arab, melainkan berasal dari bangsa Ibrani. Ia lahir dan dibesarkan di Makkah yang saat itu berada di bawah kekuasaan kabilah Jurhum dari Yaman. Tidak ada pilihan lain bagi Ismail kecuali menggunakan bahasa Arab (bahasa kabilah Jurhum) dalam kesehariannya. (Abdul Jabbar Adlan, 1995: 13)

Pada mulanya, wilayah utara Jazirah Arab diduduki golongan Adnaniyun dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyun. Akan tetapi, kedua golongan tersebut kemudian membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya. (Badri Yatim, 1997: 10)

Dalam struktur masyarakat Arab, terdapat kabilah sebagai intinya. Kabilah adalah organisasi keluarga besar yang biasanya hubungan antara anggota-anggotanya satu sama lain terikat oleh nasab (Nasab adalah hubungan yang dibangun dari garis laki-laki) dan shihr (Shihr adalah hubungan yang yang terjalin dari garis perempuan). Namun, terkadang juga terjadi hubungan seseorang dengan kabilahnya disebabkan oleh perkawinan, suaka politik atau karena sumpah setia. Perbudakan juga bisa menyebabkan terjadinya hubungan seseorang dengan suatu kabilah. (W. Montgomery Watt, 1988: 15) Di atas kabilah terdapat sya’b (bangsa) yang juga didasarkan atas pertalian darah, sedangkan di bawah kabilah adalah buthun, di bawah buthun terdapat fakhd (marga) dan di bawah fakhd adalah ‘asyirah (keluarga). (Abdul Jabbar Adlan, 1995: 15)

Sebuah kabilah dipimpin oleh seorang kepala yang disebut syaikh al-qabilah. Syaikh al-qabilah biasanya dipilih dari salah seorang anggota yang usianya paling tua dengan melalui musyawarah. Akan tetapi, dalam kasus tertentu bisa terjadi seseorang yang usianya muda mendapat kepercayaan untuk memimpin sebuah kabilah. Seorang syaikh al-qabilah mempunyai kekuasaan untuk memimpin dan setiap anggota memiliki kedudukan yang sama dalam kabilahnya. Mereka mengenal prinsip-prinsip demokrasi, sebagaimana diperlihatkan oleh sikap mereka dalam menghargai pendapat anggota.

Masyarakat Arab yang mendiami pedalaman jazirah sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. (Badri Yatim, 1997: 11) Perasaan senasib mendorong mereka untuk mengatasi bersama setiap kesulitan yang muncul. Akan tetapi, karena masyarakat Arab sejak awal sudah terstruktur dalam kabilah-kabilah, maka kepentingan bersama lebih mereka pahami dalam perngertian yang terbatas hanya untuk kabilahnya sendiri. Hal ini menimbulkan persaingan ketat yang menempatkan kabilah-kabilah badui selalu dalam posisi konflik untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. (Abdul Jabbar Adlan, 1995: 15-16) Dari sinilah, tumbuh fanatisme kesukuan yang berlebihan di kalangan masyarakat padang pasir. Oleh karena itu, di kalangan mereka berlaku ketentuan, bahwa kesalahan seorang anggota kabilah terhadap kabilah lain menjadi tanggung jawab kabilahnya. Ancaman terhadap salah seorang anggota kabilah berarti ancaman terhadap kabilah itu.

Arab pedalaman (badui) sangat mencintai kebebasan, seakan tidak ada kekuatan lain yang mampu mengekangnya. Dari prinsip ini, tidak jarang terjadi suatu persoalan kecil yang bisa menimbulkan perang dahsyat dan permusuhan yang berlarut-larut dengan dalih mempertahankan harga diri. Karena itu, pada masyarakat badui berlaku hukum “siapa yang kuat akan hidup dan siapa yang lemah akan tertindas”. Akibat peperangan yang terjadi terus menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang dan nilai wanita menjadi sangat rendah.

Lain halnya dengan masyarakat Arab yang mendiami pesisir jazirah. Mereka telah mencapai tingkat kemajuan kebudayan di masanya. Dengan bertempat tinggal tetap, mereka memiliki kesempatan untuk membangun pemerintahan yang teratur dan membangun kebudayaan. Kesempatan inilah yang tidak dimiliki oleh kaum badui. (Badri Yatim, 1997: 12) Beberapa kabilah memiliki status sosial yang tinggi dan dimuliakan oleh penduduk, semisal kabilah Quraisy di Makkah dan kabilah Aus dan Khazraj di Madinah.

Sebagian besar kota-kota dan pemukiman yang subur terletak di Yaman karena ditunjang oleh letaknya yang strategis, memberi peluang kepada Yaman untuk menjadi bandar niaga yang besar pada lintasan perdagangan antara India, Afrika dan Eropa. Keadaan seperti ini mendorong Persia, Habsyi dan Romawi untuk bersaing memperebutkan kekuasaan atas negeri itu. Persia menguasai perbatasan Arab sebelah timur, sedangkan Romawi menguasai perbatasan Arab bagian utara. Manadzirah di Irak dijadikan oleh Persia sebagai benteng untuk menahan perluasan pengaruh Romawi ke arah timur, sedangkan Ghassasinah dijadikan perisai oleh Romawi untuk menghadapi perluasan pengaruh Persia ke arah barat. Lebih dari itu, kedua kerajaan kecil tersebut berfungsi pula sebagai mata-mata untuk mencegah penyebaran orang-orang Arab Utara dari Najd dan Hijaz ke wilayah-wilayah lain di sekitarnya. (Abdul Jabbar Adlan, 1995: 17)

Di bagian utara, Hijaz menempati posisi yang tidak kalah penting dari pada Yaman dalam kegiatan niaga internasional. Di Hijaz terdapat kota-kota yang terletak pada jalur perdagangan antara Yaman dan Mesir atau antara Yaman dan Syiria. Kota-kota yang pada masanya memegang peranan penting di jalur niaga itu, antara lain Makkah, Madinah, Thaif, Madyan dan Daumah al-Jandal. Yang berkuasa di kota-kota itu adalah keluarga kaya dan terpandang yang memperoleh keuntungan-keuntungan materi berkat letak kota yang strategis itu. (W. Montgomery Watt, 1988: 40)

Demikian semoga postingan tentang analisis Historis dan Demografis Arab Pra Islam ini bisa menjadi informasi yang bermanfaat dan dapat menambah wawasan sejarah keislaman kita.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Analisis Historis dan Demografis Arab Pra Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel